Perkawinan

Rabu, 04 Mei 20110 komentar

Pengertian Perkawinan
Menurut Ulama Mazhab Syafi’i :
Akad yang mengandung kebolehan melakukan hubungan suami isteri dengan lafal nikah/kawin atau yang semakna dengan itu.

Menurut Ulama Mazhab Hanafi
Akad yang memfaedahkan halalnya melakukan hubungan suami isteri antara seorang lelaki dan seorang wanita selama tidak ada halangan syara

Menurut UU No. 1 Tahun 1974
Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan YME.

Menurut Kompilasi Hukum Islam
Akad yang sangat kuat (Mitsaqon Galidzan) untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah
Dari berbagai pengertian seperti diungkapkan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa perkawinan adalah suatu akad untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang diwarnai oleh rasa kasih sayang, dan ketentraman yang diridhoi oleh Allah SWT.


HUKUM PERKAWINAN
• Menurut ulama fiqih :
Pada dasarnya hukum perkawinan adalah sunah (dianjurkan) hal ini didasarkan kepada firman Allah dalam surah An-Nisa ayat 3. Para Mufasir dan ahli ushul fikih menyatakan bahwa sekalipun ayat ini menggunakan lafal al-amr, namun dengan adanya indikasi yang memalingkan dari al-amr maka hukumnya menjadi sunah. Indikasi yang memalingkan hukum al-amr tersebut kepada sunah yaitu adanya pilihan antara mengawini dua, tiga, empat atau seorang saja. Padahal menurut kaidah usuliyah (usul), al-amr yang menunjukan wajib harus pasti

• Menurut ulama Mazhab Syafi’I :
Hukum nikah adalah mubah (diperbolehkan) dengan alasan :
1. Pada umumnya, nas yang berbicara dalam masalah perkawinan senantiasa menggunakan kata al-hill(halal) yang mengandung makna mubah, seperti dalam QS. 4: 24, menurutnya kata al-hill tidak bisa diartikan dengan wajib atau sunah
2. Nikah termasuk jenis amalan yang bersifat duniawi. Oleh karena itu, perkawinan tersebut dilangsungkan, baik oleh muslim, non muslim, orang baik-baik maupun orang jahat. Di samping itu, mereka juga mengatakan bahwa perkawinan pada prinsipnya merupakan penyaluran naluri seksual, ini merupakan perbuatan yang alami. Karena itu kawin sama saja dengan makan dan minum yang bersifat mubah.

• Menurut Mazhab Maliki :
Menikah merupakan kewajiban (fardhu) bagi orang muslim sekalipun mungkin dia tidak mampu memperoleh nafkah hidup, berdasarkan tiga pernyataan :
1. Bila tidak menikah dikhawatirkan dia akan melakukan perbuatan zinah;
2. Bila dia tidak mampu berpuasa untuk mengendalikan hawa nafsunya, atau dia dapat berpuasa namun puasanya tak mampu menolongnya menahan diri dari hawa syahwatnya;
3. Dia tidak menemukan budak wanita yang diperbolehkan baginya untuk menyalurkan hasrat seksualnya. (Prof. Abdul Rahman I. Doi, Perkawinan dalam Syariat Islam 1996 : 8).

• Menurut Mazhab Hanafi :
Menikah itu wajib berdasarkan empat persyaratan berikut :
1. Bila seorang lelaki yakin akan berbuat zina kalau tidak menikah;
2. Bila dia tidak mampu berpuasa atau sekalipun dia dapat berpuasa namun tetap tidak membantunya untuk mengendalikan nafsu syahwatnya. Tetapi bila puasa itu dapat membantunya, maka dia diharuskan lebih baik wanita untuk digaulinya;
3. Bila dia tak mendapatkan budak wanita untuk digaulinya;
4. Bila dia mampu membayar mahar dan mampu memperoleh nafkah hidup yang halal. Namun bila dia tidak mampu mendapatkan biaya hidupnya dengan halal, maka tidak wajib baginya menikah. (Prof. Abdul Rahman I. Doi, Perkawinan dalam Syariat Islam 1996 : 8).

• Menurut Pendapat Lain
Sebagaimana yang ungkapkan oleh Prof. Dr. Ahmad Thib Raya,M.A. Dkk, dalam bukunya “Ensiklopedi Hukum Islam Jilid 4, 2003 Hal. 1330, bahwa meskipun nas meyatakan bahwa pada dasarnya hukum nikah itu adalah sunah, tetapi ulama fikih berpendapat bahwa hukum perkawinan bagi setiap orang bisa berbeda apabila dilihat dari segi keadaan orang tersebut, baik dari segi lahir maupun bahtin, yaitu :
1. Perkawinan hukumnya wajib apabila seseorang telah mempunyai kemampuan dan merasa khawatir akan terjerumus ke lembah maksiat;
2. Perkawinan hukumnya sunah apabila seseorang telah mempunyai kemampuan tetapi ia tidak merasa khawatir akan terjerumus ke dalam perbuatan zina;
3. Perkawinan hukumnya haram apabila dilakukan oleh seseorang yang tidak mampu dan perkawinan itu dilaksanakannya untuk menganiaya wanita yang dinikahi;
4. Perkawinan hukumnya makruh apabila lelaki yang akan menikah merasa dirinya akan bebuat lalim trhadap wanita yang akan dinikahi;
5. Perkawinan hukumnya mubah (boleh) apabila seseorang tidak merasa khawatir akan terjerumus ke lembah maksiat dan juga tidak akan berbuat lalim terhadap isterinya, sementara keinginannya untuk kawin tidak begitu kuat dan halangan untuk kawin pun tidak ada.

RUKUN DAN SYARAT NIKAH
1. Calon mempelai pria, syaratnya :
a. Islam;
b. Jelas orangnya;
c. Dapat memberikan persetujuan;
d. Tidak terdapat halangan perkawinan
2. Calon mempelai wanita, syaratnya :
a. Islam
b. Jelas orangnya
c. Dapat dimintai persetujuannya
d. Tidak terdapat halangan perkawinan
3. Wali, syaratnya :
a. Laki-laki
b. Dewasa
c. Mempunyai hak perwalian
d. Tidak terdapat halangan perwaliannya
4. Saksi, syaratnya :
a. Minimal dua orang laki-laki
b. Hadir dalam ijab qobul
c. Dapat mengerti maksud akad
d. Islam
e. Dewasa
5. Ijab qabul, syaratnya :
a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali
b. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria
c. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kata nikah atau tazwij
d. Antara ijab dan qobul bersambung
e. Antara ijab dan qobul jelas maksudnya
f. Orang yang berkait dengan ijab dan qobul tidak sedang dalam ihram haji/umroh
g. Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang, yaitu : calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai wanita atau wakilnya, dan dua orang saksi.
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. KUA Kecamatan Mangkubumi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger